Saturday, October 4, 2008

MENJADI KAYA DENGAN MEMBANGUN JALAN

Adakah kita menjadi kaya dengan hanya membangun jalan? Pertanyaan ini mungkin bisa terjawab jika kita bercermin ke negeri tirai bambu. Ya, tengoklah China. Judul di atas bahkan mengambil dari pepatah China kuno yang mengatakan bahwa jika kita ingin menjadi orang kaya maka terlebih dahulu kita harus membangun jalan. Silahkan saja anda mengartikan hal ini secara harafiah atau apa pun. Tetapi kita harus mengakui bahwa China saat ini telah menjelma menjadi naga raksasa yang semakin kuat, memenuhi atap-atap dunia.

China juga lah yang memiliki komposisi demografi raksasa (selain India – negara yang notabene berbatasan dengan China), keduanya memiliki jumlah penduduk mencapai 2,5 miliar jiwa atau setara dengan 37 persen jumlah populasi dunia yakni 6,6 miliar jiwa pada tahun 2007. Saat ini kedua negara bertetangga tersebut juga berusaha menjadi kekuatan ekonomi besar dunia. Mereka mempunyai patron distribusi teritorial populasi. Meskipun terlihat kewalahan memikul beban dari jumlah rakyatnya yang semakin membengkak namun China dapat mengimbanginya dengan memupuk fenomena kemajuan ekonomi yang melejit pesat.

Sekedar catatan bahwa China memiliki laju urbanisasi sebesar 25 persen pada tahun 1987. Hal ini meningkat signifikan menjadi 42 persen di tahun 2007. Penduduknya di perkotaan meningkat dua kali lipat dari 276 juta jiwa menjadi 558 juta jiwa. Bayangkan yang akan terjadi di tahun 2016 dimana pertumbuhan urbanisasi akan mencapai angka 50 persen!! Sebagian besar jumlah penduduk tertinggi ( populasi di atas 5 juta) tersebar di tujuh kota besar di China yaitu Shanghai (15 juta jiwa), Beijing (11,1 juta), Guangzhou (8,8 juta), Shenzhen (7,6 juta), Tianjin (7,2 juta), Hongkong (7,2 juta) dan Chongqing (6,5 juta). Dua kota terpadat adalah kota pelabuhan – Shanghai dan ibukota – Beijing. Kota-kota besar dan padat di China rata-rata terkonsentrasi di pesisir timur dekat ke laut.

Dari fenmena ini, kita bisa tahu bahwa urbanisasi besar-besaran di China terjadi akibat dinamika pertumbuhan ekonomi dan perdagangan yang dipicu oleh dua sebab: investasi besar-besaran pada jaringan infrastruktur jalan; dan kebijakan reformasi yang terbilang sukses.

Pepatah kuno mereka sekarang dapat dilihat dari kota-kota besar China yang mencerminkan wajah baru kapitalisme. Mereka menjelma laksana kepala naga raksasa yang menjadi pemimpin pertumbuhan pembangunan ekonomi di China. Negeri ini sekarang telah berubah menjadi lebih terbuka terhadap perubahan, seakan mengubur kenangan masyarakat dunia bahwa dulu China tradisional pernah menjadi negeri introvert dengan Kota Terlarang-nya.
Bagaimana dengan Indonesia kita, negeri kaya raya, gemah ripah loh jinawi, negeri indah bagai untaian zamrud di khatulistiwa? Pernahkah pemimpin kita belajar untuk lebih maju dari negeri-negeri lain dengan kultur budaya yang hampir sama seperti China dan India? Negeri yang seakan hanya memiliki Jakarta sebagai tempat terpusatnya semua kegiatan baik ekonomi dan pemerintahan. Tempat bergulirnya hampir 75 persen uang di seluruh Indonesia. Siapkah kita dengan konsekuensi laju urbanisasi yang sangat tinggi dan hanya terpusat di Jakarta saja? Rekans semua pasti sudah merasakan apa yang terjadi dengan ibukota kita tersebut. Hampir 80 persen penduduknya tumpah di jalan pada waktu-waktu tertentu saja – di pagi hari dan di sore hari. Menyisakan fenomena bernama kemacetan. Bahkan akan menjadi kemacetan stagnan dalam beberapa tahun ke depan jika saja pemerintah tidak mampu mencari solusi dalam mengatasi kemacetan ini. Konsekuensi yang harus ditanggung penduduk kota ini akibat ruas jalan yang tak lagi mencukupi dibanding dengan jumlah kendaraan (kendaraan pribadi, dinas maupun umum) yang berseliweran setiap harinya di jalanan ibukota. Nampaknya untuk hal yang satu ini, kita perlu berkaca (sekali lagi) dari China.

Intisari tulisan dari Kompas, 9 Agustus 2008: Untuk Menjadi Kaya, Harus Membangun Jalan – Rene L. Pattiradjawane

No comments:

Post a Comment