Intisari tulisan: Koran Tempo, 15 September 2008: Pepesan Kosong Super Toy
Anda semua pasti sudah pernah dengar Super Toy. Jangan keliru dulu, dari namanya mungkin terbesit pikiran tentang mainan baru yang hebat. Ini bukan jenis mainan baru anak-anak. Ini (cuma) jenis varietas baru padi. Dari gembar gembor pada saat pemanenan pertamanya oleh Pak SBY – sekitar bulan April lalu, Super Toy didaulat menjadi jenis varietas baru padi yang mampu menghasilkan panen hingga tiga kali, hasilnya bahkan bisa mencapai 15,5 ton per hektar!!
Jika dibandingkan varietas padi lain yang sudah ada lebih dulu, Super Toy bisa dibilang membawa mimpi indah bagi petani Indonesia. Bayangkan saja organisasi penelitian padi internasional (International Rice Research Institute) – IRRI hanya menetapkan batas maksimum produksi padi adalah sebesar 10 ton per hektar. Di tingkat nasional, Departemen Pertanian dalam laporannya pada tahun 2007 menyebutkan rata-rata produksi padi Indonesia hanya 5 ton per hektar.
Bagi para ahli padi Indonesia seperti Sucipto Hartowitono, Supriyanta dan Djoko Prajitno, sistem panen hingga tiga kali dengan sekali tanam atau rationing memiliki kelemahan yang besar dimana akan berpotensi mengundang hama dan justru dapat membahayakan tanaman padi lainnya di wilayah yang sama. Selain itu panenan kedua dari jenis padi ini biasanya akan sangat sedikit hasilnya. Bandingkan dengan fenomena Super Toy yang justru memberi janji bahwa panenan kedua dan seterusnya akan lebih banyak lagi daripada panenan pertama.
Ternyata jauh panggang dari api. Apa yang diharapkan tidak pernah menjadi kenyataan. Setidaknya itulah yang terjadi. Banyak petani yang merasa kecewa karena tidak mendapat hasil seperti yang diekspos di media massa baik cetak maupun elektronik. Lagi-lagi pak tani dirugikan..Lagi-lagi pak tani yang dikorbankan.
Padahal untuk bisa melepas satu varietas baru padi hasil persilangan ke khalayak umum harus diuji hingga generasi ketujuh di lebih dari 15 lokasi. Hal ini biasanya membutuhkan waktu mencapai lima tahun. Setelah hal ini dilakukan dan hasilnya memang memenuhi syarat sebagai bibit unggul maka Komisi Pelepasan Varietas di Departemen Pertanian baru merekomendasikan jenis tersebut untuk dilepas ke pasar. Pelepasan tersebut juga harus disertai dengan deskripsi varietas yang bersangkutan. Antara lain harus ada karakter produktivitas (ton/hektar/gabah kering giling) dan ketahanan terhadap hama penyakit. Saat itu juga, varietas baru tersebut diberi nama, biasanya menggunakan nama sungai besar seperti Cisadane dan Ciherang. Namun sekarang ini karena nama sungai besar sudah habis maka menggunakan nama-nama Inpari (Inbrida Padi Irigasi).
Secara legal hukum ternyata hal ini sudah diatur. Namun ternyata ada saja yang masih lolos dari sensor aturan. Hal-hal seperti ini akan sangat riskan sekali, mengingat kepentingan orang banyak seperti petani dipertaruhkan. Dan hasilnya adalah sandiwara Super Toy seperti yang anda saksikan sekarang ini. Happy ending atau sad ending? Anda tentu bisa menebak sendiri.
Saturday, September 20, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment